Aku masih
sendiri.
Tertegun
sekian detik untuk mencerna kalimat retoris itu. Aku bisa buat jawaban versi pembelaan atau bicara
tentang hasrat yang tenggelam. Logika, realita, ketetapan, waktu, dan hati
saling silang berlawanan. Berjibaku saling mematahkan. Satu datang dua hilang.
Dua timbul empat tenggelam.
Kemarin itu
bukan sekarang. Sekarang itu bukan besok. Logikanya adalah aku hidup pada hari
ini, bukan kemarin atau besok. Ketetapan pun telah diputuskan. Bagaimana aku
bisa tertinggal dalam dimensi mimpi? Atau apakah hati tak pantas bermimpi? Apa kemarin
itu lapuk? Apa kemarin itu adalah buangan? Apa realita patut membungkam semua
mimpi? Radar ini terlalu angkuh hingga mematahkan logika dan realita. Entah
sedang terjebak dan mati, atau sedang menari dalam keyakinan tak berarah.
Aku pikir hidup
ini hanya terdiri dari tiga kata. MIMPI, PETUNJUK dan KEAJAIBAN. Tuhan
menciptakannya serasi.
Barangkali apa
yang aku temukan hari ini belum bisa menjawab sang retoris.
Aku pasti
menemukannya, dan semua akan berjalan satu arah.
Dia berada
diantara persimpangan waktu yang tak bisa didefinisikan dengan ‘kemarin’, ‘besok’
atau ‘hari ini’.
Dia ‘ada’
dalam selubung waktu.
Dia hadiah
‘keajaiban’.